Pagi ini, entah mengapa, aku kembali
terkenang perjuangan masuk kuliah. Dulu, aku harus menelan kekecewaan di SNMPTN
Undangan dan baru dilegakan di SNMPTN Tulis. Inilah kisah selengkapnya.
Seperti
teman-temanku yang lain, memasuki semester kedua kelas XII, aku sibuk mencari
jurusan apa yang ingin kutuju. Aku tidak terlalu galau mencari universitas
karena aku hanya memiliki satu tujuan universitas, UGM (Universitas Gadjah
Mada). Ketika aku dituntut untuk masuk universitas keguruan oleh keluargaku, aku
memasukkan nama UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) ke daftar cadangan. Kebetulan,
SNMPTN Undangan memperbolehkan siswa mendaftar ke dua universitas. Kenapa aku
memilih dua universitas yang berada di Jogja? Entahlah, mungkin karena
diam-diam aku telah jatuh cinta pada kota tersebut.
SNMPTN
Undangan memperbolehkan siswa memilih enam jurusan dua universitas. Karena aku begitu
tergila-gila dengan UGM, aku menaruh Komunikasi UGM di nomor satu, Administrasi
Publik urutan kedua, dan Filsafat pilihan ketiga. Belakangan, aku sangat
bersyukur karena aku tidak diterima ditiga jurusan tersebut...hehe. Universitas
kedua, aku menempatkan UNY. Kenapa UNY? Pilihan pertama universitas kedua
adalah PGSD. Yah, jurusan PGSD memang sedang booming kala itu. Sayangnya, aku tidak tertarik. Aku memilihnya
hanya untuk melegakan ibu dan kakakku. Pilihan kedua aku menaruh Pendidikan
Matematika. Pilihan ketiga, entahlah, aku sudah lupa.
Awalnya,
aku sangat optimis akan diterima di salah satu dari keenam jurusan tersebut. Pengumuman
penerimaan akan keluar dua hari setelah pengumuman ujian. Beberapa hari sebelum
pengumuman, aku searching mengenai
sistem seleksi SNMPTN Undangan (hal yang sangat bodoh karena aku baru mencari
info jauh hari setelah pendaftaran ditutup). Aku sangat kaget ketika mengetahui
sistem seleksi. Sistem seleksinya tidak sesuai pikiranku. Aku berpikir yang
diutamakan adalah nilai. Jadi, apabila aku tidak diterima di pilihan pertama
aku masih punya harapan di pilihan kedua dan seterusnya asalkan nilaiku
memenuhi. Sayangnya, sistem sebenarnya menjadikan pilihan pertama sebagai kunci
utama akan diterima atau tidak. Jadi, pemilih utama suatu jurusan lebih
diutamakan daripada yang memilih jurusan itu di pilihan kedua atau selanjutnya.
Seketika itu, aku pupus harapan. Keoptimisanku yang awalnya menggila langsung
turun drastis. Aku mencoba berpikir realistis, aku tidak mungkin diterima. Saat
itu, aku dilema. Aku masih sangat optimis, tapi aku tahu aku akan kalah. Yah,
di tengah keoptimisanku, aku mempersiapkan kekalahanku. Meskipun demikian, aku
tetap saja sedih ketika pengumuman itu tiba. Prediksiku tepat.
Selasa
malam, 17 Mei 2011, aku ke warnet dengan ibuku untuk melihat hasil pengumuman. Aku
tiba di warnet pukul 18.57 WIB. Pengumuman baru bisa dilihat pukul 19.00 WIB. Tiga
menit menunggu terasa sangat lama. Meskipun aku tahu aku pasti tidak diterima,
aku tetap penasaran melihat langsung. Akhirnya, tiga menit berlalu. Aku membuka
pengumuman dan mendapati tulisan, “ANDA TIDAK LOLOS SELEKSI”. Yah, itu sudah kuduga. Aku melihat
rona kekecewaan di wajah ibuku. Berulang kali beliau memintaku mengulang
pengumuman. Satu hal yang membuatku lemas adalah aku telah mengecewakan
orang-orang yang mendukungku.
Ketika
aku akan pulang, seorang teman sekelas menelpon. Dia menanyakan hasilku. Kukatakan
bahwa aku tidak lolos. Dia pun bercerita bahwa dia tidak lolos juga. Dia mengatakan
bahwa seorang teman sekelas kami ada yang lolos di UNNES. Antara iri dan ikut
senang, aku berkata, “Itu sudah rezekinya dia. Santai aja, masih ada SNMPTN
Tulis. Semoga rezeki kita ada di SNMPTN Tulis”. Kami pun sepakat akan mendaftar
SNMPTN Tulis keesokan harinya karena pendaftaran akan segera ditutup. Ketika aku
akan beranjak pulang, lagi-lagi seorang teman menelpon. Dia sahabatku. Dia menanyakan
hasilku. Dia juga bercerita bahwa dia tidak diterima. Aku ingin menangis ketika
mendengar nada suaranya yang sendu, namun aku berusaha menahan air mata ini. Aku
harus tabah di depan ibuku. Beliau tidak boleh melihat kekecewaanku. Sudah cukup
perih yang kurasakan ketika menyaksikan beliau kecewa.
Seperti
di sinetron-sinetron, gerimis tiba-tiba datang tanpa diundang. Langit seakan
turut bersedih. Akhirnya, turunlah air mataku bersama turunnya titik-titik gerimis.
Aku mengendarai motor di kegelapan malam dalam keadaan menangis. Aku lampiaskan
beban hatiku, namun aku berusaha sekuat tenaga agar isakku tak terdengar oleh
ibu. Meskipun demikian, aku rasa ibuku tahu kalau aku menangis. Beliau
membiarkanku larut dalam tangisku. Begitu sampai rumah, aku langsung masuk
kamar. Bapakku yang melihat keheningan dan wajah sayuku tak bertanya apa-apa. Beruntung,
ibu dan bapakku pergi ke tempat seorang tetangga yang sedang punya hajat. Aku mengunci
pintu kamar dan mulai menangis (lagi). Kali ini, aku tak menahan tangisanku. Kubiarkan
adik dan nenekku bingung dengan isakku yang semakin keras. Aku lampiaskan semua
beban hatiku. Sesudah agak tenang, aku mengabarkan pada kakak-kakakku bahwa aku
tidak beruntung di SNMPTN Undangan. Kakak perempuanku, meski juga sedih,
berusaha tidak memperlihatkannya. Dia mencoba menghiburku melalui SMSnya. Intinya,
aku tidak boleh menyerah. Jalanku masih panjang. Masih ada SNMPTN Tulis yang
bisa diperjuangkan. Berbeda dengan kakak perempuanku, kakak laki-laki keduaku
tidak pandai menyembunyikan kekecewaannya. Dia yang biasanya terlihat antusias
dan akan membalas SMS-ku dengan telpon, kali itu hanya membalas dengan SMS. Membaca
dua SMS kakakku membuat aku kembali menangis. Aku telah mengecewakan mereka.
Setelah
tenang (kembali), aku menelpon sahabatku yang tadi. Suaranya menunjukkan dia
baru saja menangis, dia bilang, dia sedih melihat bapaknya yang langsung
terdiam begitu mengetahui hasilnya. Aku pun bercerita demikian. Akhirnya, kami
sama-sama tertawa mengetahui bahwa kami baru saja menangis. Sebenarnya, tawa
kami itu tawa kebohongan karena kami tengah berurai air mata. Kami tertawa
sambil menangis. Kami mencoba melupakan kesedihan dengan mengingat hal-hal gila
yang pernah kami lakukan. Dalam catatatn harianku, aku menulis, “Aku tahu dia
sedih, dan dia tahu aku juga sedih. Kami tak membahas kesedihan kami. Kami hanya
membahas nasib kami (Selasa, 17/5/11)”.
Paginya,
aku dan beberapa orang teman yang tidak diterima mendaftar SNMPTN Tulis. Aku memilih
Sastra Indonesia UGM pada urutan pertama dan PGSD UNY pada urutan kedua. Ibu dan
kakak perempuanku tetap memaksa aku untuk masuk keguruan sehingga aku memilih
PGSD UNY, meski di urutan kedua. Aku memilih Sastra Indonesia karena aku patah
hati dengan Komunikasi. Aku hanya ingin masuk jurusan yang ada hubungannya
dengan dunia tulis menulis. Saat itu, Sastra Indonesia sangat menggodaku. Sebelumnya,
aku sempat ikut try out UM UGM yang
diadakan oleh Fakultas MIPA. Aku juga mendaftar UM (Ujian Masuk) UGM, namun UM
UGM dibatalkan sehingga aku dan teman-teman yang mendaftar harus ke UGM untuk
mengambil uang pendaftaran kami. Aku dan empat temanku tersesat di UGM yang
luas untuk mendapatkan kembali uang pendaftaran kami. Okey, kembali ke SNMPTN Tulis.
SNMPTN Tulis ini juga
penuh perjuangan. Aku dan empat orang teman wanita, termasuk sahabatku, nge-kos
di salah satu rumah di daerah Samirono. Aku melalui ujian tanpa persiapan
apapun. Aku tidak belajar sama sekali. Malam sebelum ujian, kami malah asyik
main-main ke Malioboro. Malam berikutnya, kami asyik saling curhat. Ketika ujian
SNMPTN Tulis berakhir, kami langsung drop. Siang hari setelah ujian berakhir,
kami mendapatkan kunci jawaban ujian SNMPTN Tulis yang dibagikan oleh sebuah
bimbingan belajar. Kami mencocokkan kunci itu dengan jawaban kami. Hasilnya,
banyak sekali soal yang kami jawab dengan tidak tepat. Kami menghitung-hitung
peluang kami diterima yang ternyata sangat kecil. Kami patah semangat dan mulai
menggila. Kami membuat kos sangat berisik dengan kegilaan-kegilaan kami hingga
salah seorang mbak kos menegur kami...hahaha
Satu
bulan telah berlalu. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Aku sama sekali
tidak memikirkan SNMPTN Tulis. Aku bahkan lupa kalau aku tengah berjuang dan
menunggu pengumuman. Aku tidak pesimis, tapi juga tidak optimis (lalu apa
namanya, ya?). Aku tidak seantusias dulu ketika membuka pengumuman. Aku bahkan
malas membuka pengumuman. Alhasil, aku meminta tolong kakak perempuanku untuk
membuka pengumuman. Seorang teman SMP sangat menyesalkan sikapku yang tidak mau
membuka pengumuman dengan alasan takut. Dia bahkan mengata-ngatai aku dengan
kata-katanya yang menohok hati. Meskipun demikian, aku tetap enggan membuka pengumuman.
Aku biarkan temanku berkicau dengan kata-katanya yang menyatakan bahwa aku
pengecut, mental tempe, dan segudang kata-kata lain yang tak kalah pedas. Aku mengatakan
bahwa aku tidak ingin kecewa seperti teman-temanku yang telah membuka
pengumuman dan ternyata mereka belum beruntung. Dia mengatakan, “Ya Allah,
kasihan banget. Kamu gitu karena kamu ga bisa yakinin diri kamu sendiri. Bukannya
optimis, malah pesimis. Harusnya kamu kasih teman-teman kamu semangat, bukannya
malah ikut frustasi. Sedih pasti sedih saat teman ga diterima, tapi kamu harus
tetap semangat dan optimis kalau kamu bisa”.
Pukul
23.00 WIB, kakak perempuanku baru menelponku. Dia mengatakan bahwa aku tidak
diterima. Aku langsung syok dan menangis. Entah saat itu kakakku berbicara apa,
aku sudah tidak mendengarnya. Aku kembali fokus ketika kakakku menyuruh aku
mengambil kartu ujianku. Dia menyuruhku untuk menyimak kata-kata yang akan dia
ucapkan. Kakakku mengucapkan beberapa nomor yang sebelum selesai sudah aku
potong. Aku berteriak, “Sastra Indonesia UGM,” dan kakakku bilang, “Ya,”. Aku
masih bingung, ada apa dengan Sastra Indonesia? Kakakku bilang, aku tidak
diterima di sana, juga tidak di PGSD UNY. Kakakku meminta aku membangunkan ibu.
Dia ingin berbicara dengan ibu. Ketika telpon berpindah ke ibu, kakakku bilang,
“Siapkan uang untuk biaya registrasi”. Aku kaget. Ada apa ini? Ibu memastikan,
dan kakakku bilang aku diterima di Sastra Indonesia UGM. Tangisku keluar lagi,
begitupun ibu. Telpon kurebut, dan aku memastikan sekali lagi. Kakakku bilang, “Ya,
kamu diterima di Sastra Indonesia UGM”. Ah...betapa leganya.
Paginya,
sahabatku meng-SMS-ku. Dia menyatakan bahwa aku diterima di Sastra Indonesia
UGM. Aku yang baru bangun tidur dan masih linglung hanya bilang, “Iya po?”. Aku
lupa kalau tadi malam aku sudah diberitahu kakakku. Itu bagian yang paling kacau.
Aku lupa kalau aku sudah diterima dan tidak percaya ketika sahabatku
memberitahukan kabar tersebut. Namun demikian, aku masih menyimpan kesedihan
mendalam. Pasalnya, dua sahabatku masih belum diterima. Impian untuk kos bareng
di Jogja kandas seketika. Kami harus berpisah. Aku ke Jogja, seorang sahabat ke
Jakarta, dan seorang lagi tetap di Purworejo.
Masa
registrasi merupakan masa-masa yang penuh perjuangan (juga). Aku tidak bisa
menahan kebingunan ketika hampir setengah uang daftar ulang dikembalikan oleh
petugas bank. Saat akan ke Jogja naik kereta, aku selalu sampai di stasiun
ketika kereta sudah berjalan menjauh dari stasiun. Ketika naik bus, aku dan
ibuku harus berdiri selama satu jam dan dikelilingi anak-anak kecil yang
muntah-muntah. Sumpah, itu pengalaman tak telupakan, ketika aku melihat
beberapa anak kecil yang duduk di kanan, kiri, dan depanku serempak
muntah-muntah. Aku khawatir aku akan ikut muntah karena aku adalah orang yang
gampang mabuk darat. Akhirnya, aku memejamkan mata sambil berpegangan erat pada
kursi samping kanan-kiriku agar tak jatuh. Belum lagi perjuangan ketika harus
mengantri di DAA (Direktorat Administrasi Akademik) untuk mengumpulkan
berkas-berkas. Aku pergi pagi dan pulang malam.
Sekarang, aku berada di
universitas impianku, UGM, dan berada di jurusan Sastra Indonesia. Aku sangat
bersyukur berada di jurusan ini. Pasalnya, saat SMA, aku sangat menyukai dunia
jurnalistik dan dunia tulis-menulis. Aku ditolak dunia jurnalistik, dan aku masuk
dunia tulis-menulis. Sepertinya, aku kurang berbakat di dunia jurnalistik, meskipun
aku sangat berminat. Sastra Indonesia lebih mendukung minat sekaligus bakatku. Di
Sastra Indonesia, aku belajar banyak hal mengenai bahasa dan sastra. Aku mempelajari
banyak teori seputar bahasa dan sastra, sekaligus prakteknya. Aku sangat
bersyukur dengan kehidupanku sekarang. Saat ini, aku tengah mencoba
peruntunganku mewujudkan salah satu mimpiku dalam hal bahasa dan sastra. Aku
akan terus berusaha.
THIS IS REAL!
Sabtu, 17 November 2012