Lembayung Senja yang Kunanti

0



“Dik, Tante rindu. Tenanglah di sisi-Nya dalam celoteh lucumu.”
Merah jingga warnamu. Terlahir dalam iringan doa dan air mata haru. Terhias oleh tubuh lucu nan menggemaskan. Kamu tumbuh begitu sempurna. Tak tampak sedikit pun cela. Celotehmu melukiskan kelengkapan keluarga kecil yang belum genap dibangun setengah windu. Juga keceriaan lain bagi kakakmu yang masih juga lugu.
            Hari ini, aku mengiringmu. Bukan dengan canda tawa seperti biasa. Namun, dengan tangis duka. Selimut yang serupa warna bunga lembayung menutup tidurmu. Tidur dengan wajah yang lain. Ketenangan dalam kebahagiaan. Meski luka merongrongmu begitu rupa, senyum masih ada. Bukan lagi untukku.
            Pepohonan melambai pada arah perjalananmu. Goncangan di depan menghadang. Namun, kau tak jua gentar. Kau tak lagi merasa. Kau tak lagi menerima susu dalam botol yang selalu kusiapkan ketika kau terbangun.
            Duhai lembayung senja yang kunanti, aku belum sempat mendengarmu memanggilku “Tante”. Aku belum puas menimangmu hingga terlelap dalam tidur siang yang tenang. Aku masih ingin berbaring di sampingmu sembari memeluk dengan kehangatan. Lembayung senjaku, tenanglah dalam pelukan malaikat.

-yang terkenang,
Aufar Zayan Zaneeta Abidin
26 Oktober 2013—14 April 2014
Tenang di sisi-Nya, ya, Dik-