Kisah ini adalah
kisah dari seorang wanita hebat yang menginspirasiku.
Layaknya
anak SMP baru masuk SMA, aku dengan semangat 45 mengikuti ekstrakurikuler karya
ilmiah. Di ekstrakurikuler karya ilmiah, terdapat tiga orang pembimbing. Dua
orang merupakan guru SMA-ku dan yang seorang lagi merupakan pembimbing dari
luar SMA. Beliau merupakan seorang wanita cantik yang baik. Sebut saja namanya
Ibu Rr.
Saat
itu, aku ditempatkan sebagai anggota divisi Majalah Dinding (Mading) yang
diampu oleh Ibu Rr. Pada mading edisi pertama, beliau menyuruhku membuat cerpen
dan aku menurut. Sebelumnya, aku tak pernah membuat cerpen. Entah mengapa saat
Ibu Rr menyuruhku membuat cerpen, aku patuh saja.
Ibu Rr dengan setia menemani kami selama
proses pembuatan mading. Beliau mengajari kami banyak hal tentang mading. Aku
langsung jatuh cinta pada dunia jurnalistik sejak pertama kali Ibu Rr
mengenalkanku pada jurnalistik. Aku menjadi sangat kagum pada Ibu Rr.
Mading
pertama kami pun terbit. Banyak pihak yang terkesan dengan mading buatan
anak-anak baru di bidang jurnalistik ini. Hal itu membuat kami semakin terlecut
untuk maju. Aku ingat saat itu Ibu Rr
berkata padaku bahwa cerpen buatanku bagus. Aku hanya perlu lebih banyak
belajar dan aku akan bisa membuat cerpen yang bermutu. Ibu Rr juga bilang bahwa
esai yang aku buat bagus. Beliau ingin aku mengikutkan esaiku dalam lomba esai
tingkat kabupaten yang saat itu sedang berlangsung.
Aku
terharu. Itu adalah pujian pertama untuk tulisan pertamaku. Bisa dibayangkan
bagaimana bahagianya aku saat itu. Aku dengan semangat membara mengirimkkan
esaiku untuk diikutkan dalam lomba esai tingkat kabupaten. Lagi-lagi, Ibu Rr
yang membantuku. Sayangnya, esaiku tak mendapat juara.
Bulan telah berganti. Ibu Rr masih
dengan tulus ikhlas mendampingi awak mading. Beliau masih terus memberi kami
pelajaran tentang jurnalistik. Beliau juga sering menyumbangkan uangnya untuk
membantu penerbitan mading saat kas mading menipis. Hal ini membuat awak mading
malu. Kami berupaya menambal kekurangan uang untuk penerbitan mading dengan
iuran. Setiap Ibu Rr mengajukan bantuan materialnya, kami selalu bilang kami
masih ada uang kas.
Kami
tahu Ibu Rr ikhlas memberi kami, tapi kami tak mau merampas haknya. Kami tahu
gaji Ibu Rr untuk membimbing kami tak seberapa. Usaha beliau untuk mengajar
kami tak pernah berbalas dengan imbalan yang pantas. Kami tak mau semakin
membebaninya. Kami sudah merampas waktunya untuk bermain dengan putranya yang
masih berusia 5 tahun. Kami tak mau merampas uangnya juga.
Beberapa bulan berlalu, wanita
cantik nan lembut itu tiba-tiba saja menghilang. Tak pernah kutahu apa
sebabnya. Aku hanya tahu bahwa beliau tak berpamitan pada kami, awak mading.
Kami tanyakan pada dua pembimbing ektrakurikuler karya ilmiah kami. Mereka
diam. Kami tanya kakak kelas kami, mereka sama bingungnya dengan kami. Kami
hubungi nomornya, tak pernah berbalas. Telepon pun tak terangkat. Kami bingung.
Kami menangis.
Satu tahun bersamanya, banyak
pelajaran yang dapat ku petik. Aku semakin mencintai dunia tulis-menulis karena
beliau. Aku mendapat banyak dorongan semangat dari beliau. Aku belajar arti
sebuah pengorbanan dan ketulusan dari beliau. Ketulusan untuk memberi tanpa
meminta balasan. Mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan terkadang uang untuk
sebuah pelajaran yang selalu berharga.
Aku selalu merindukannya. Saat
beliau baru saja menghilang, aku sering menangisinya. Tak jarang aku
memimpikannya. Sampai saat inipun, aku masih sering memimpikannya. Aku selalu
sedih jika kawan-kawanku, awak mading angkatanku, menanyakan beliau. Aku tak
pernah tahu harus menjawab apa.
Beberapa tahun berlalu sejak
peritiwa menghilangnya Ibu Rr. Kini aku berada di semseter empat jurusan Sastra
Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM). UGM adalah almamater Ibu Rr. Sastra Indonesia
adalah dunia yang mulai kugemari sejak aku mengenal Beliau. Aku ingin
meneruskan apa yang pernah Ibu Rr ajarkan padaku.