Tentang Kamu dan Rindu

0

Senja itu, hujan turun melalui titik-titik kecil yang indah. Kau memandangku dari kejauhan yang tak terlihat oleh mata siapapun, kecuali aku. Kau tiupkan kata cinta yang dibawa angin ke seberang.
Kita bertemu dalam sebuah titik. Bersitatap dalam diam yang penuh kehangatan. Ah, ya, tentu tak akan ada dingin ketika kita bersama.
Pada tatap selanjutnya, aku tahu apa yang kau tahu. Hati kita saling bicara meski mulut sama-sama terkunci. Semesta mendukung tatap mata kita yang tak pernah mendung.
Pada detik berikutnya, kau berkisah tentang apa saja.
Kau tahu, aku selalu suka dengan semua kisahmu. Bahkan, kisah remeh temehmu kuingat dengan sangat jelas. Aku mencatatnya dalam hati. Kusimpan rapat-rapat agar ikatannya tak mudah lepas.
Kau tahu, aku juga selalu suka menatapmu. Tatapan dalam setelah lamanya penantian.
Jika kau lihat dengan benar, ada sayang pada binar mataku. Kau pernah menyadarinya?
Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengatakannya. Bahkan, sekarang aku sudah kepayahan menghitung rindu. Rasanya tak akan pernah sampai sekalipun dengan bantuanmu.
Bagaimana caraku menuntaskan rindu ini? Tolong beri tahu aku!
Kau sudah seperti candu. Datang diam-diam, merasuk secara dalam, dan menetap selamanya. Tanpa pernah kuminta, kau tak memberiku jeda. Aku gagap karenamu, tetapi rindu selalu.

Sawunggalih Utama, 29 November 2016
08.40 WIB

Kasta, Kita, Kata-Kata

0

Alhamdulillah... novel perdana ini telah resmi diluncurkan ke pasaran sejak bulan Februari lalu. Antusiasme pembaca cukup tinggi dilihat dari banyaknya pesan yang masuk ke inbox Facebook ataupun mention Instagram.
            Rata-rata, pembaca mengaku suka dan kagum dengan sosok Ajeng yang lugu. Banyak pula yang berharap cerita antara Ajeng dan Galih tidak berhenti sampai di situ. Lebih banyak lagi, pembaca berharap segera ada karya kedua dan seterusnya untuk segera dinikmati.
            Sebagai penulis pemula, saya tentu senang; dan tidak dapat dipungkiri bahwa juga merasa bangga; pembaca menyukai karya saya. Bahkan, bersedia memberikan apresiasi.
            Karya ini lahir dengan jalan yang berliku. Di tengah padatnya jadwal kuliah, freelance, persiapan KKN, dan derai arti mata perpisahan dengan orang terkasih. Melalui perjalanan berliku itu, saya sadar bahwa novel ini adalah karya berharga, setidaknya untuk pribadi saya.
            Melalui karya sederhana ini, saya tidak hanya ingin menunjukkan keagungan cinta. Saya ingin berkata bahwa, “Ini, loh, hidup harus berjuang! Hidup harus saling berguna untuk sesama! Hidup harus terus berjalan! Hidup tidak boleh menyerah!”.
            Mungkin perjuangan Ajeng dan Galih untuk bisa diakui sudah biasa terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, perjuangan mereka dalam melawan keterbatasan; hidup dalam momok Afasia dan Aleksia; tidak semudah mengetik di atas komputer ini.
            Ajeng dan Galih adalah dua sosok manusia lugu yang berjuang untuk tetap “hidup” layaknya orang hidup. Keduanya telah melewati semua. Duka lara disisihkan, diragukan, dicemooh, diabaikan, dan segudang kosakata pasif menyakitkan lain.
            Kau tahu rasanya melihat duka di mata yang senantiasa ceria? Di mata seseorang yang telah begitu dekat dalam rasa dan angan.
Aku sedang berada pada posisi itu. Lebih dari sendu. Jauh dari luka. Juga tak bisa dikatakan hanya duka. Tak ada kata yang tepat untuk melukiskannya (Chaka, 2016:158).

Namun, mereka punya cinta yang menguatkan. Lewat tangan masing-masing, keduanya memberi energi semangat. Apa yang kemudian mereka raih adalah buah kerja keras sendiri.
Mereka mungkin hanya tokoh yang saya ciptakan melalui ilusi panjang. Saya rangkai sendiri jalan hidupnya dengan imajinasi tak terbatas. Namun, saya tak memaknai mereka sebagai bayangan.
Mereka ada dan nyata di dalam hati saya. Mereka yang justru menginspirasi dan memberi saya semangat ketika kata “menyerah” mulai terpikirkan. Dua manusia lugu itu, tokoh fiktifku, yang justru menjadi penguat dalam jiwa ini.

Bogor, 11 September 2016