Kasta, Kita, Kata-Kata

0

Alhamdulillah... novel perdana ini telah resmi diluncurkan ke pasaran sejak bulan Februari lalu. Antusiasme pembaca cukup tinggi dilihat dari banyaknya pesan yang masuk ke inbox Facebook ataupun mention Instagram.
            Rata-rata, pembaca mengaku suka dan kagum dengan sosok Ajeng yang lugu. Banyak pula yang berharap cerita antara Ajeng dan Galih tidak berhenti sampai di situ. Lebih banyak lagi, pembaca berharap segera ada karya kedua dan seterusnya untuk segera dinikmati.
            Sebagai penulis pemula, saya tentu senang; dan tidak dapat dipungkiri bahwa juga merasa bangga; pembaca menyukai karya saya. Bahkan, bersedia memberikan apresiasi.
            Karya ini lahir dengan jalan yang berliku. Di tengah padatnya jadwal kuliah, freelance, persiapan KKN, dan derai arti mata perpisahan dengan orang terkasih. Melalui perjalanan berliku itu, saya sadar bahwa novel ini adalah karya berharga, setidaknya untuk pribadi saya.
            Melalui karya sederhana ini, saya tidak hanya ingin menunjukkan keagungan cinta. Saya ingin berkata bahwa, “Ini, loh, hidup harus berjuang! Hidup harus saling berguna untuk sesama! Hidup harus terus berjalan! Hidup tidak boleh menyerah!”.
            Mungkin perjuangan Ajeng dan Galih untuk bisa diakui sudah biasa terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, perjuangan mereka dalam melawan keterbatasan; hidup dalam momok Afasia dan Aleksia; tidak semudah mengetik di atas komputer ini.
            Ajeng dan Galih adalah dua sosok manusia lugu yang berjuang untuk tetap “hidup” layaknya orang hidup. Keduanya telah melewati semua. Duka lara disisihkan, diragukan, dicemooh, diabaikan, dan segudang kosakata pasif menyakitkan lain.
            Kau tahu rasanya melihat duka di mata yang senantiasa ceria? Di mata seseorang yang telah begitu dekat dalam rasa dan angan.
Aku sedang berada pada posisi itu. Lebih dari sendu. Jauh dari luka. Juga tak bisa dikatakan hanya duka. Tak ada kata yang tepat untuk melukiskannya (Chaka, 2016:158).

Namun, mereka punya cinta yang menguatkan. Lewat tangan masing-masing, keduanya memberi energi semangat. Apa yang kemudian mereka raih adalah buah kerja keras sendiri.
Mereka mungkin hanya tokoh yang saya ciptakan melalui ilusi panjang. Saya rangkai sendiri jalan hidupnya dengan imajinasi tak terbatas. Namun, saya tak memaknai mereka sebagai bayangan.
Mereka ada dan nyata di dalam hati saya. Mereka yang justru menginspirasi dan memberi saya semangat ketika kata “menyerah” mulai terpikirkan. Dua manusia lugu itu, tokoh fiktifku, yang justru menjadi penguat dalam jiwa ini.

Bogor, 11 September 2016