“Dik, Tante rindu. Tenanglah di sisi-Nya dalam celoteh lucumu.”
Merah jingga
warnamu. Terlahir dalam iringan doa dan air mata
haru. Terhias oleh tubuh lucu nan menggemaskan. Kamu tumbuh begitu sempurna.
Tak tampak sedikit pun cela. Celotehmu melukiskan kelengkapan keluarga kecil
yang belum genap dibangun setengah windu. Juga keceriaan
lain bagi kakakmu yang masih juga lugu.
Hari
ini, aku mengiringmu. Bukan dengan canda tawa seperti biasa. Namun, dengan
tangis duka. Selimut yang serupa warna bunga lembayung menutup tidurmu. Tidur dengan
wajah yang lain. Ketenangan dalam kebahagiaan. Meski luka merongrongmu
begitu rupa, senyum masih ada. Bukan lagi untukku.
Pepohonan
melambai pada arah perjalananmu. Goncangan di depan menghadang. Namun, kau tak
jua gentar. Kau tak lagi merasa. Kau tak lagi menerima susu dalam botol yang
selalu kusiapkan ketika kau terbangun.
Duhai
lembayung senja yang kunanti, aku belum sempat mendengarmu memanggilku “Tante”.
Aku belum puas menimangmu hingga terlelap dalam tidur siang yang tenang. Aku
masih ingin berbaring di sampingmu sembari memeluk dengan kehangatan. Lembayung
senjaku, tenanglah dalam pelukan malaikat.
-yang terkenang,
Aufar Zayan Zaneeta Abidin
Tenang di sisi-Nya, ya, Dik-