Persahabatan Antara Lawan Jenis

4

Hari ini tiba-tiba teringat sebuah buku berjudul I Love You, Friends. Dalam sebuah cerita yang dimuat dalam buku tersebut, tertulis kata-kata yang intinya tidak ada persahabatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Persahabatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya akan berakhir pada affair khusus. Nah, kata-kata itu kembali membuat teringat pada perkataan seorang dosen sastra pada awal kuliah semester ini. Beliau mengatakan bahwa cinta pada pandangan pertama itu bohong. Adanya ya witing tresno jalaran seko kulino. Cinta itu tumbuh karena terbiasa. Yah, ini sebelas dua belas dengan ungkapan tidak ada persahabatan lawan jenis tadi. Karena terbiasa bersama, tumbuhlah perasaan cinta.
Kedua hal tadi berkorelasi dengan film yang beberapa hari lalu aku tonton. Film tersebut menceritakan mengenai persahabatan lawan jenis. Kedua insan tersebut bersepakat untuk menjadi “kakak-adik ketemu gedhe”. Si kakak (cowok) mengatakan bahwa dalam hubungan “kakak-adik ketemu gedhe” pasti ada rasa yang lebih dari sekedar suka. Dan, biasanya pihak yang suka adalah si cowok. Lagi-lagi, ini karena persahabatan dan rasa terbiasa. Seorang teman pernah berkata bahwa hubungan persahabatan “kakak-adik ketemu gedhe” itu tidak pernah ada. Pasti akan tumbuh benih cinta di hati salah satunya. Dan, mereka cenderung untuk diam karena takut merusak persahabatan. Biasanya, pihak perempuan lah yang tersakiti.
Jadi, adakah persahabatan antara lawan jenis?

Ibu Rr

0


Kisah ini adalah kisah dari seorang wanita hebat yang menginspirasiku.
Layaknya anak SMP baru masuk SMA, aku dengan semangat 45 mengikuti ekstrakurikuler karya ilmiah. Di ekstrakurikuler karya ilmiah, terdapat tiga orang pembimbing. Dua orang merupakan guru SMA-ku dan yang seorang lagi merupakan pembimbing dari luar SMA. Beliau merupakan seorang wanita cantik yang baik. Sebut saja namanya Ibu Rr.
Saat itu, aku ditempatkan sebagai anggota divisi Majalah Dinding (Mading) yang diampu oleh Ibu Rr. Pada mading edisi pertama, beliau menyuruhku membuat cerpen dan aku menurut. Sebelumnya, aku tak pernah membuat cerpen. Entah mengapa saat Ibu Rr menyuruhku membuat cerpen, aku patuh saja.
             Ibu Rr dengan setia menemani kami selama proses pembuatan mading. Beliau mengajari kami banyak hal tentang mading. Aku langsung jatuh cinta pada dunia jurnalistik sejak pertama kali Ibu Rr mengenalkanku pada jurnalistik. Aku menjadi sangat kagum pada Ibu Rr.
Mading pertama kami pun terbit. Banyak pihak yang terkesan dengan mading buatan anak-anak baru di bidang jurnalistik ini. Hal itu membuat kami semakin terlecut untuk maju.   Aku ingat saat itu Ibu Rr berkata padaku bahwa cerpen buatanku bagus. Aku hanya perlu lebih banyak belajar dan aku akan bisa membuat cerpen yang bermutu. Ibu Rr juga bilang bahwa esai yang aku buat bagus. Beliau ingin aku mengikutkan esaiku dalam lomba esai tingkat kabupaten yang saat itu sedang berlangsung.
Aku terharu. Itu adalah pujian pertama untuk tulisan pertamaku. Bisa dibayangkan bagaimana bahagianya aku saat itu. Aku dengan semangat membara mengirimkkan esaiku untuk diikutkan dalam lomba esai tingkat kabupaten. Lagi-lagi, Ibu Rr yang membantuku. Sayangnya, esaiku tak mendapat juara.
            Bulan telah berganti. Ibu Rr masih dengan tulus ikhlas mendampingi awak mading. Beliau masih terus memberi kami pelajaran tentang jurnalistik. Beliau juga sering menyumbangkan uangnya untuk membantu penerbitan mading saat kas mading menipis. Hal ini membuat awak mading malu. Kami berupaya menambal kekurangan uang untuk penerbitan mading dengan iuran. Setiap Ibu Rr mengajukan bantuan materialnya, kami selalu bilang kami masih ada uang kas.
Kami tahu Ibu Rr ikhlas memberi kami, tapi kami tak mau merampas haknya. Kami tahu gaji Ibu Rr untuk membimbing kami tak seberapa. Usaha beliau untuk mengajar kami tak pernah berbalas dengan imbalan yang pantas. Kami tak mau semakin membebaninya. Kami sudah merampas waktunya untuk bermain dengan putranya yang masih berusia 5 tahun. Kami tak mau merampas uangnya juga.
            Beberapa bulan berlalu, wanita cantik nan lembut itu tiba-tiba saja menghilang. Tak pernah kutahu apa sebabnya. Aku hanya tahu bahwa beliau tak berpamitan pada kami, awak mading. Kami tanyakan pada dua pembimbing ektrakurikuler karya ilmiah kami. Mereka diam. Kami tanya kakak kelas kami, mereka sama bingungnya dengan kami. Kami hubungi nomornya, tak pernah berbalas. Telepon pun tak terangkat. Kami bingung. Kami menangis.
            Satu tahun bersamanya, banyak pelajaran yang dapat ku petik. Aku semakin mencintai dunia tulis-menulis karena beliau. Aku mendapat banyak dorongan semangat dari beliau. Aku belajar arti sebuah pengorbanan dan ketulusan dari beliau. Ketulusan untuk memberi tanpa meminta balasan. Mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan terkadang uang untuk sebuah pelajaran yang selalu berharga.
            Aku selalu merindukannya. Saat beliau baru saja menghilang, aku sering menangisinya. Tak jarang aku memimpikannya. Sampai saat inipun, aku masih sering memimpikannya. Aku selalu sedih jika kawan-kawanku, awak mading angkatanku, menanyakan beliau. Aku tak pernah tahu harus menjawab apa.
            Beberapa tahun berlalu sejak peritiwa menghilangnya Ibu Rr. Kini aku berada di semseter empat jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM). UGM adalah almamater Ibu Rr. Sastra Indonesia adalah dunia yang mulai kugemari sejak aku mengenal Beliau. Aku ingin meneruskan apa yang pernah Ibu Rr ajarkan padaku.