a.
Surat
Kepercayaan Gelanggang
Surat Kepercayaan Gelanggang ditulis
oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Ida Nasoetion. Surat
Kepercayaan Gelanggang meletakkan dasar konsep mereka tentang kesusastraan
bahkan juga kebudayaan Indonesia (Kayam, 1988:121). Preamble Gelanggang lahir
tanggal 19 November 1946 yang berbunyi:
Generasi “Gelanggang” terlahir dari pergolakan roh dan pikiran kita, jang
sedang mentjiptakan manusia Indonesia jang hidup. Gelanggang jang harus
mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnja pendjadian dari bangsa kita. Bahwa
kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama jang telah mengakibatkan
masjarakat jang lapuk, dan kita berani manantang pandangan, sifat dan anasir
lama ini untuk menjalakan bara kekuatan baru, dan anggaran dasarnja seperti
jang tertera dihalaman-halaman jang sudah.
Namun, baru pada tahun 1950 Surat
Kepercayaan Gelanggang dibuat dan diumumkan. Surat Kepercayaan Gelanggang
penting artinya untuk memahami sikap, pendirian, dan cita-cita Angkatan ‘45.
Walaupun di antara pengarang Angkatan ‘45 ada yang tidak setuju dengan Surat
Kepercayaan Gelanggang, pada hakikatnya Surat Kepercayaan Gelanggang dengan
Angkatan ‘45 memiliki kaitan yang erat.
Surat kepercayaan ini adalah semacam
pernyataan-sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama
‘Gelanggang Seniman Merdeka’. Meskipun tidak ada hubungan organisatoris antara
Angkatan 45 dengan perkumpulan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, hingga sekarang
biasanya orang berpaling kepada Surat Kepercayaan Gelanggang kalau hendak merumuskan
konsepsi Angkatan 45 tentang hidup dan seni.
Surat
Kepertjajaan
“Gelanggang
Seniman Merdeka” Indonesia
Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan
dunia kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri.kami lahir dari
kalangan prang-banjak dan pengertian rakjat bagi kami adalah kumpulan
tjampur-baur dari mana dunia-dunia baru jang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit
kami jang sawo-matang, rambut kami jang hitam atau tulang pelipis kami jang
mendjorok kedepan, tetapi lebih banjak oleh apa jang diutarakan oleh wudjud
pernjataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk
kebudajaan Indonesia. Kalau kami berbitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami
tidak ingat kepada me-lap-lap hasil kebudajaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudajaan baru jang
sehat. Kebudajaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang
suara jang disebabkan suara-suara jang dilontarkan dari segala sudut dunia dan
jang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan
menentang segala usaha-usaha jang mempersempit dan menghalangi tidak bertulnja
pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai
baru atas nilai-nilai usang jang harus dihantjurkan. Demikian kami berpendapat
bahwa revolusi ditanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu
aseli; jang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam tjara kami mentjati,
membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan sekeliling
(masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja
saling-pengaruh antara masjarakat dan seniman.
Djakarta, 18 Februari 1950.
Isi
pokok dari Surat Kepercayaan Gelanggang, ialah;
1. Angkatan 45 memandang dirinya sebagai ahli waris
kebudayaan dunia dan akan diteruskan kebudayaan itu menurut cara mereka
sendiri.
2. Keindonesiaan mereka hanya dapat dikenal dari
wujud pernyataan hati dan pikiran mereka, bukan dari bentuk-bentuk lahirnya.
3. Kebudayaan Indonesia Baru tidak semata-mata
berdasarkan kebudayaan Indonesia lama, tetapi ditetapkan dari ramuan hasil
kebudayaan yang datang dari segenap penjuru dunia, yang kemudian dilontarkan kembali
dalam wujud ciptaan menurut kehendak mereka.
4. Revolusi bagi mereka adalah penempatan nilai-nilai
baru di atas nilai-nilai lama yang sudah usang yang harus dihancurkan.
5. Mereka berpendapat bahwa antara masyarakat dan
seniman terjadi saling mempengaruhi (Sarwadi, 2004:162).
Surat Kepercayaan Gelanggang besar
artinya dalam membentuk kebudayaan baru Indonesia. Angkatan ’45 yang memiliki
hubungan erat dengan Surat Kepercayaan Gelanggang ini menciptakan karya-karya
yang melambangkan kebudayaan dan semangat perjuangan. Surat Kepercayaan
Gelanggang menuntut semacam rasa cinta terhadap bangsa Indonesia yang dilakukan
dengan tindakan nyata, tidak hanya dalam batin.
Daftar Pustaka:
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Gramedia
Sastrowardojo,
Subagio, dkk. 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang
Relevan. Bandung: Penerbit Angkasa
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel
Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
Sarwadi,
Prof.Drs.H. 2004. Sejarah Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media
b.
Manifest
Kebudayaan
Manifes Kebudajaan
·
Kami para
seniman dan tjendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes
Kebudajaan, jang menjatakan pendirian, tjita-tjita dan politik
Kebudajaan Nasional kami.
·
Bagi kami
kebudajaan adalah perdjoangan untuk menjempurnakan kondisi hidup manusia. Kami
tidak mengutamakan salah satu sektor kebudajaan di atas sektor kebudajaan yang
lain. Setiap sektor berdjoang bersama-sama untuk kebudajaan itu sesuai dengan
kodratnja
·
Dalam
melaksanakan kebudajaan Nasional kami berusaha mentjipta dengan kesungguhan
jang sedjudjur-djudjurnja sebagai perdjoangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masjarakat bangsa-bangsa.
·
PANTJASILA adalah falsafah kebudajaan kami.
Djakarta ,17 Agustus 1963
Atas
usaha H.B. Jassin dan beberapa orang lain penyelenggara majalah Kisah almarhum, sejak bulan Mei 1961
diterbitkan majalah Sastra. Pada masa
kehidupan sekeliling dipaksa untuk menerima slogan “politik sebagai panglima”, Sastra menjadi tempat berkumpul
orang-orang yang hendak mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada
tanggal 17 Agustus 1963 diumumkanlah “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan
ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, a.l. H.B. Jassin,
Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Goenawam Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok
Djin, dll. Beberapa fakta yang menyebabkan
dibentuknya manifes ini ialah: pertama,
masih adanya sikap liberalisme dalam menghadapi jalannya Revolusi nasional
dimana sektor-sektor kebudayaan lain diabdikan kepada politik sebagai
pembentukan kekuasaan; kedua, masih
adanya kecenderungan menolak institusi sebagai alat perjuangan kemanusiaan sebagai
akibat penafsiran yang keliru tentang kebudayaan universil dan tanggapan yang
utopistis tentang kebebasan (Kratz, 2000:487).
Manifes
ini segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air yang selama ini hidup
dalam suasana mental diteror oleh Lekra. Lekra pun melihat Manifes sebagai alat
untuk mempermudah menghancurkan orang-orang yang selama ini mereka anggap
sebagai musuh. Manifes Kebudayaan segera dijadikan sasaran utama Lekra. Pihak
Manikebu mempersiapkan sebuah konferensi para pengarang yang dinamakan
Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KPPI). Konferensi ini menghasilkan
Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tetapi sebelum PKPI ini
berjalan, Soekarno yang pada masa itu menjabat menjadi presiden menyatakan
“Manifes Kebudayaan” dilarang. Majalah Sastra
dituntut supaya segera dilarang terbit, demikian juga majalah-majalah lain yang
dianggap menjadi terompet golongan Manifes.
Dapat
disimpulkan bahwa isi pokok Manifes Kebudayaan adalah:
1.
Manifes Kebudayaan berisi cita-cita dan politik kebudayaan Indonesia.
2.
Kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain itu setara. Tidak ada
kebudayaan yang lebih unggul dari kebudayaan yang lain. Kebudayaan adalah
perjuangan untuk menyempurnakan hidup manusia.
3.
Karya sastra sebagai manifestasi dari kebudayaan digunakan untuk mempertahankan
dan mengembangkan martabat bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa
lain.
4.
Pancasila merupakan falsafah kebudayaan Indonesia.
Daftar Pustaka:
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Gramedia
Rodisi, Ajip. 1969. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Binatjipta
c.
Polemik
Kebudayaan
Polemik Kebudayaan adalah perbantahan tentang pembangunan
kebudayaan Indonesia yang tulisannya muncul dengan tidak amat berkelanjutan
benar di dalam beberapa majalah dan harian di tahun –tahun 1935 dan 1936 dan di
dalam tahun 1939. Polemik pertama terjadi anatar St. Takdir Alisjahbana, Sanusi
Pane, dan Dr. Poerbatjaraka di dalam Pujangga
Baru dan Suara Umum di bulan
Agustus sampai September 1935. Takdir membuat sebuah kritik terhadap Puisi Indonesia (Zaman) Baru yang
didasarkan pada hubungannya dengan perkembangan manusia Indonesia baru. Pada
waktu itu, pendapat ini belum diterima umum; sebaliknya berlaku perdebatan yang
panjang tentang berbagai aspek masalah kebudayaan baru. Sumbangan-sumbangan
yang terpenting diantaranya diterbitkan sesudah perang dalam sebuah buku
tersendiri yang disusun oleh Achdiat Kartamihardja dengan judul Polemik Kebudayaan (1948). Buku ini
mengandung sumbangan dari St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr.
Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir dan Ki Hadjar
Dewantara (Teeuw, 1980:60).
Takdir berpendapat bahwa betapapun kedudukannya di zaman
silam, tidak dapat disangkal bahwa di abad ke-20 ini bangsa Indonesia
ketinggalan zaman, dan sedang dalam keadaan yang buruk sekali, baik secara
rohaniah maupun secara jasmaniah. Takdir yakin bahwa hanya dengan mengikuti
jejak langkah Barat sajalah baru Indonesia akan memainkan peranan yang
sewajarnya dalam dunia modern. Menurut Takdir, segala sesuatu yang ada pada
pemimpin Indonesia serta segala sesuatu yag diketahuinya, mereka terima dari
barat yang telah menyerahkan kepada mereka segala kekayaan zaman lampau
Indonesia melalui para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa
Borobudur hanya dapat didirikan dalam sebuah masyarakat yang 90% anggotanya hidup
dalam suasana perbudakan atau kemiskinan yang hebat (Teeuw, 1980:61).
Suatu persoalan yang menarik dari polemik ini adalah
masalah pendidikan. Para pemimin Jawa, seperti Ki Hadjar Dewantara, amat kuat
mempertahankan sistem pesantren,
bukan saja karena sistem itu belanjanya lebih murah dari sistem persekolahan
barat, tetapi juga atas beberapa alasan kerohanian. Bagi Takdir, pesantren itu tidak lain dari unsur
kekampungan yang ditanamkan dalam masyarakat yang statis, dan berbahaya bagi
perkembangan individu, dan dengan demikian bagi dinamika juga yang penting
untuk masyarakat modern. Takdir menyatakan bahwa bukanlah sebuah kebetulan
bahwa sesungguhnya seluruh pemimpin kebudayaan dan politik Indoneisa, termasuk
yang demikian kuat mempertahankan pesantren
serta nilai-nilai tradisonal itu, merupakan hasil dari pendidikan barat.
Latar belakang penyusunan buku Polemik Kebudayaan adalah:
1. Polemik ini merupakan peristiwa penting dalam
sejarah kebudayaan Indonesia, oleh karena untuk pertama kalinya nilai-nilai dan
ukuran-ukuran kebudayaan Indonesia yang sudah lapuk dikaji, dikupas, dan
diperiksa dengan agak mendalam dan teratur.
2. Pada saat bangsa Indonesia sedang membentuk
kebudayaan baru yang harus lebih sesuai dengan masyarakat modern dan jiwa
modern seperti sekarang, pokok-pokok pikiran yang dikemukakan dalam polemik
tersebut cukup penting untuk mendapat perhatian bangsa Indonesia dan para ahli
atau peminat kebudayaan pada khususnya.
3. Polemik ini besar artinya sebagai anjuran untuk
lebih memperdalam lagi penyelidikan serta mempertegas lagi pendirian bangsa
terhadap soal tersebut.
Polemik Kebudayaan ini menjadi salah satu
buku yang laris di pasaran. Buku ini mengangkat masalah kebudayaan Indonesia
dimana ada wacana membentuk manusia baru Indonesia. Polemik kebudayaan ini disusun
oleh Achdiat Kartamihardja
berdasarkan artikel-artikel para pengarang yang menyuarakan ide-idenya tentang
kebudayaan.
Daftar Pustaka:
Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Gramedia
Mihardja, Achdiat K. 1948. Polemik Kebudajaan. Jakarta: Kementerian P.P dan K
Rodisi, Ajip. 1969. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Binatjipta
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia: Jilid I. Flores: Penerbit Nusa Indah
d.
Sastra
Tersimpan dan Sastra Tersiar pada Sastra Indonesia Zaman Jepang
Sastra
zaman Jepang memiliki corak yang beraneka ragam. Ada dua macam sastra zaman
Jepang, yaitu sastra tersiar dan sastra tersimpan. Sastra yang tersiar
maksudnya adalah sastra yang berhasil disiarkan, baik melalui majalah maupun
melalui penerbitan sendiri, sesudah mengalami sensor pemerintah. Sastra yang
tersimpan ialah sastra yang ditulis pada masa itu, tetapi baru disiarkan
sesudah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, misalnya beberapa lukisan Idrus
dalam Corat-Coret di Bawah Tanah (Sarwadi,
2004:123). Corak dua macam sastra itu
sangat berbeda, bahkan sering tampak bertentangan.
Karakterisasi
sastra Indonesia di masa Jepang dapat dirangkum menjadi sebagai berikut:
1. Umumnya sastra tersiar
pada masa itu tidak lepas dari unsur tendens, yaitu tendens membantu perang
Jepang, bahkan sering unsur tendens itu begitu jelas sehingga berubah sifat
menjadi propaganda. Tendens demikian tampak pada dua novel yang terbit pada
masa itu, yaitu Palawija karangan
Karim Halim dan Cinta Tanah Air karya
Nur Sutan Iskandar.
2. Sastra tersiar yang
tidak mengandung tendens, umumnya menyatakan maksud isinya dalam bentuk
simbolik atau bersifat pelarian dari realitas kehidupan yang pahit, misalnya Dengar Keluhan Pohon Mangga karya Maria
Amin. Pelarian ke tempat terpencil, misalnya tampak pada beberapa cerpen Bakri
Siregar yang berjudul Di Tepi Kawah.
3. Sastra tersimpan umumnya
berupa sastra ktitik yang berisi kecaman dengan sindiran terhadap ketidakadilan
yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sejarah kehidupan suatu bangsa ternyata
bahwa sastra kritik selalu timbul apabila tidak ada keserasian dalam tata
kehidupan bangsa itu. Wujud sastra kritik ini dapat bermacam-macam, baik yang
melalui sindiran, maupun yang langsung berupa kritik lugas. Contoh karya sastra
tersimpan, yaitu: puisi Anak Rakyat
karya Dullah dan lukisan Idrus dalam Corat-Coret
di Bawah Tanah.
4. Genre sastra yang
dominan pada masa Jepang yaitu bentuk puisi, cerpen, dan drama. Perkembangan yang
mencolok di antara ketiga bentuk itu dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya
yaitu bentuk drama.
5. Dibandingkan dengan
corak sastra sebelumnya yang umumnya masih bersifat romatik-idealisme, sastra
masa Jepang bersifat realistis (romatik-realistis). Hal ini disebabkan corak
romantik pada masa itu langusng berhubungan dengan kenyataan hidup yang pahit,
yang penuh dengan penderitaan (Sarwadi, 2004:123-127).
Mengingat sastra
tersimpan umumnya berupa kritik, kecaman, dan sindiran terhadap pemerintah
Jepang, tentulah sastra tersimpan dilarang keras untuk dipublikasikan oleh
pihak Jepang. Sastra yang berhasil disiarkan pada masa Jepang tentulah sastra
yang telah melalui proses seleksi ketat dari Lembaga Pusat Kebudayaan yang
didirikan Jepang untuk menghimpun sastrawan dan seniman yang akan dimanfaatkan
bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Sastra-sastra yang lolos seleksi
itulah yang nantinya disebut sebagai sastra tersiar. Jenis karya sastra tersiar
di masa Jepang kebanyakan adalah karya sastra drama.
Pada hemat saya,
sastra tersimpan yang baru disiarkan setelah masa Proklamasi Kemerdekaan ini
dapat dibilang sudah kadaluarsa. Pasalnya, isi dari sastra tersimpan notabene
adalah kritikan terhadap pemerintahan Jepang, dan setelah Kemerdekaan
Indonesia, Jepang sudah tidak kembali ke Indonesia lagi. Tentulah sastra
tersimpan yang sudah tersiar itu menjadi seakan-akan tidak ada gunanya,
mengingat objek yang dikritik, disindir, dan dikecam sudah tidak ada lagi di
Indonesia. Sastra tersimpan menjadi semakin tidak menguntungkan mengingat
setelah kemerdekaan, selera masyarakat terhadap karya sastra sudah berubah.
Masyarakat masa itu lebih menyukai bacaan yang menghibur dan mengggambarkan
kegembiraan juga kebebasan. Masyarakat sudah terlalu lama menderita dan mereka
membutuhkan bacaan yang dapat membuat mereka melupakan penderitaan mereka.
Daftar Pustaka:
Sarwadi,
Prof.Drs.H. 2004. Sejarah Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia: Jilid I. Flores: Penerbit Nusa Indah
0 komentar:
Posting Komentar